Video YouTube: Cara Umi Nyekolahin Anak di Jepang, US, dan Inggris
Ibu adalah madrasah utama bagi anak.
Untuk menjadi madrasah yang berkualitas, tentu sang Ibu (di sini sebagai guru di rumah) juga harus berkualitas. Untuk menjadi guru yang berkualitas, berarti si Ibu harus belajar dari sumber ilmu yang terbaik, baik itu ilmu sekuler, ilmu agama, cara berpikir kritis, cara bersosialisasi, cara menjalin network, cara meregulasi emosi, dsb.
Tentang Umi, atau Dr. Rini Pura Kirana, M.Eng.
Lahir dan besar di Surabaya, Umi adalah alumni SMALA (SMAN 5 Surabaya) yang menempuh pendidikan dari S1 hingga S3 di Jepang dan ngambil jurusan Teknologi Informasi.
lanjut kuliah lagi di Jepang sambil bareng-bareng membesarkan 3 anak, yaitu Abang (S1 & S2 di Kyushu University), Aku (S1 di Osaka University & S2 di Harvard), dan Sayyaf (S1 di Durhan University).
sekarang (Umi) bangun Sekolah Quran Asy Syahid untuk mecetak generasi penghafal Quran.
Value yang Umi Tanamkan ke Anak-anaknya
“Strive for Excellence” atau berusaha untuk mencapai yang terbaik.
Umi meyakini bahwa setiap anak memiliki potensi yang harus dikembangkan Umi selalu mendorong anak-anaknya untuk selalu mencoba berbagai hal sejak kecil, baik itu dalam bentuk pendidikan formal maupun non-formal.
Pendidikan itu Investasi Jangka Panjang
Mengikuti teori Doman Method & Abdul Nasih Ulwan, Umi mempraktikkan kurikulum di buku-buku berikut sejak kami masih bayi.
Membentuk Sistem Belajar di Rumah
Selain mengembangkan otak kanan kami sejak kecil dan memberikan kami semua opportunity untuk eksplor potensi di bidang yang berbeda-beda, Umi juga menerapkan sistem belajar yang rapih di rumah.
Mulai dari ngatur jadwal ngaji, kapan kita boleh punya HP & laptop pribadi, regulasi screentime di hari sekolah, meningkatkan minat baca dengan selalu ngajak ke Gramedia dan gak pernah memberi batas kalo tentang beli buku.
Umi mengajarkan kami untuk menjadi pribadi yang terencana & terstruktur.
Contoh kecil, kalo udah memasuki bulan ujian, yang akan Umi lakukan adalah membantu kami organize jadwal belajar supaya kami bisa belajar sepraktis mungkin.
Kalo yang diuji adalah 3 BAB, Umi akan menjadwalkan hari Sabtu jam 10–12 pagi untuk review BAB 1, lalu sorenya BAB 2, lalu hari Minggu pagi untuk BAB 3, dan sorenya untuk review seluruh BAB.
Kalo yang diuji adalah 2 mata pelajaran, Umi akan make sure kita me-review yang paling sulit dulu, baru yang paling mudah.
Kalo mata pelajaran eksak, Umi akan menyiapkan lembaran untuk latihan soal dan kita disuruh duduk sampe tuntas.
Kalo mata pelajaran non-eksak, Umi akan melakukan tanya jawab sampai kita paham betul dengan konteks yang diujikan.
Kalo lagi menghafal surat baru, Umi akan membacakan surat tersebut ketika solat Maghrib & Isya.
Umi bisa mensulap sebuah teori menjadi konsep dengan D.I.Y. alat peraga buat aku yang seorang visual learner.
Umi, gak pernah ada yang namanya, “Sana belajar, besok ujian.”
Yang ada hanya, “Yuk belajar, jam 10 nanti bawa buku paket ke kamar Umi, kita belajar sampe Zuhur.”
Membangun Tanggung Jawab Soal Belajar
Umi memberikan privilise baru ke kami bertiga: memilih sendiri kemana kami ingin mengenyam pendidikan, tentu dengan arahan.
Selama 12 tahun aku sekolah, aku pernah menjadi siswa di total 5 sekolah.
Ketika aku kelas 3 SD, aku ingat aku yang SD meminta Umi untuk memindahkan aku ke sekolah lain, karena aku tidak merasa tertantang secara akademik di sekolah yang lama. Tanpa ba-bi-bu, Umi langsung riset SD mana yang bagus di deket rumah, yang bisa memberikan aku sistem pendidikan yang aku cari.
Ketika kami mau masuk SMP-SMA-S1–S2, Umi tidak langsung mendaftarkan kami ke sekolah pilihan Umi dan Abi. Pertama Umi cari dulu informasi sekolah-sekolah yang sekiranya kami tertarik, lalu kami diajak ngobrol tentang sekolah-sekolah tersebut, lalu jika kami suka, kami diajak survey ke sekolah pilihan kami. Setelah survey, kami diajak ngobrol lagi tentang pendapat kami tentang sekolah tersebut, dan barulah kami membuat keputusan.
Kalo dipikir-pikir lagi sekarang, apalah arti dari pendapat seorang bocah berusia 11 tahun yang sangat clueless tentang hidup. Tapi buat Umi, keinginan aku itu ada artinya.
Dari cara ini, Umi menekankan bahwa belajar itu menjadi tanggung jawab kami sejak dini. Kami diajak diskusi terkait kenapa Umi menyarankan sekolah tertentu, bagaimana trajectory pendidikannya, apa kurikulum yang akan kami dapatkan, bagaimana kesempatan exchange & lombanya, kemana saja lulusan dari sekolah tersebut, dsb. Sehingga apapun keputusannya, kami memiliki kesadaran penuh tentang pilihan kami.
Mengapa Umi Mendorong Kami untuk Belajar di Luar Negeri?
Umi percaya bahwa selagi ada kesempatan, maka gak ada salahnya dicoba. Umi percaya sistem pendidikan di luar cocok dengan potensi serta minat bakat kami, sehingga sejak masuk SMA, Umi menjadi mentor kami dalam menyiapkan seluruh berkasnya.
Tentu Umi mengizinkan karena dirasa kami sudah mampu secara mental untuk dilepas ke luar negeri. Kalau tidak, kecil kemungkinan kami diberi kepercayaan. Untuk memastikan kami siap, Umi menilai apakah kami bisa menunjukkan tanggung jawab dan kedewasaan selama SMA, serta apakah kami bisa membuktikan bahwa kami mampu menjaga diri dan membuat keputusan yang baik, terutama terkait ibadah dan pergaulan.
Umi percaya bahwa penting bagi anak untuk mengikuti minat dan bakat mereka (walau tetap dengan arahan). Tidak berarti kami dibebaskan ngapain aja. Kami tetap mendapat guidance dan diarahkan ke koridor yang terjaga.
Kesimpulan: Pentingnya Pendidikan untuk Perempuan
Setelah menulis ini semua, aku semakin bersyukur akan dua hal:
- Memiliki madrasatul ula seperti Umi di rumah
- Memiliki Abi yang menghargai seluruh proses Umi dalam mendidik anak dan mendukung Umi semaksimal mungkin
[Diakses::2024-08-31]
Sumber Zhafira Aqyla, 2024, Cara Umi Nunjukin Kenapa Perempuan Harus Berpendidikan Tinggi